Perusahaan farmasi memang berjasa besar dalam kedokteran lewat produksi obat-obatan yang bermanfaat memerangi berbagai penyakit.
Namun di sisi lain, perusahaan obat juga acapkali melakukan berbagai upaya agar dapat menjual produknya serta meraup keuntungan sebanyak mungkin, lewat cara ilegal sekalipun.
Terhitung sudah triliunan rupiah uang masuk menambah pundi-pundi kas perusahaan, namun trilunan rupiah juga habis dikucurkan untuk membayar denda dan sanksi yang diberikan pengadilan.
Berbagai pelanggaran yang dilakukan kebanyakan berkisar dari penyuapan dan klaim obat yang menyesatkan.
Seperti dilansir
Time Healthland, Selasa (18/9/2012), berikut adalah 10 skandal terbesar perusahaan obat di Amerika yang berhasil dibongkar.
1. Bristol Myers Squibb (2007)
Jumlah Penyelesaian: US$ 515 juta atau sekitar Rp 4,87 Triliun
Bristol Myers Squibb (BMS) memasarkan obat antipsikotik bernama Abilify untuk mengobati gejala demensia pada orang tua dan agresi serta gangguan perilaku pada anak-anak. Padahal kenyataannya obat ini tidak disetujui untuk mengobati gangguan tersebut.
Food and Drug Administration(FDA) telah memberikan label peringatan mengenai efek samping yang fatal dari penggunaan Abilify pada orang tua, namun BMS mengirimkan tim penjualan ke panti jompo untuk menawarkan obatnya. BMS ditengarai menyuap profesional medis dan apoteker untuk menjual produknya.
2. Purdue Pharma (2007)
Jumlah Penyelesaian: US$ 634 juta atau sekitar Rp 5,99 Triliun
Oxycontin telah disetujui sebagai obat penghilang rasa sakit pada tahun 1995 dan dipromosikan besar-besaran oleh produsennya, Purdue Pharma. Perusahaan juga mengklaim obatnya tersebut tidak adiktif dan tidak menyebabkan gejala sakaw dibanding obat-obatan opioid lainnya seperti morfin. Namun kenyataannya tidak demikian.
Purdue akhirnya didakwa menggunakan taktik penjualan yang menyesatkan, meminimalkan risiko obat dan mempromosikannya untuk mengobati penyakit yang belum sepenuhnya diketahui dengan jelas.
3. Pfizer (2009)
Jumlah Penyelesaian: US$ 2,3 miliar atau sekitar Rp 21,76 Triliun
Pfizer terlibat dalam pemasaran obat antipsikotik Geodon kepada dokter untuk keperluan yang tidak disetujui. Perusahaan juga memasarkan obat pereda nyeri Bextra dan Lyica secara ilegal serta memberikan suap kepada dokter agar mau meresepkan obat Pfizer. Perusahaan ini telah mengeluarkan uang jutaan dolar dalam menyelesaikan kasusnya selama kurang dari 10 tahun.
4. Eli Lilly (2009)
Jumlah Penyelesaian: US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 13,24 Triliun
Eli Lilly memasarkan obat abtispokotik Zyprexa (olanzapine) untuk anak-anak padahal belum terbukti aman atau efektif. Perusahaan juga tidak membeberkan informasi tentang efek samping obat seperti kenaikan berat badan yang dapat menyebabkan penyakit kronis.
Selain itu, efek samping Zyprexa dipromosikan kepada pada orang tua sebagai obat untuk membantu tidur. Berbeda dengan obat tidur generik, Zyprexa ternyata berisiko menyebabkan kematian, bahkan pada kisaran dosis normal.
5. AstraZeneca (2010)
Jumlah Penyelesaian: US$ 520 juta atau sekitar Rp 4,92 Triliun
AstraZeneca dituntut karena memasarkan Seroquel kepada anak-anak dan orang tua untuk mengobati insomnia dan kecemasan, padahal efektifitasnya belum diketahui. Penelitian menemukan bahwa penggunaan Seroquel pada orang tua dan anak-anak dapat meningkatkan risiko kematian.
AstraZeneca juga mempromosikan penelitian yang mengatakan Seroquel bermanfaat untuk menurunkan berat badan, sementara penelitian lainnya menunjukkan bahwa Seroquel dapat menyebabkan kenaikan berat badan yang signifikan. Penelitian lain telah berulang kali menunjukkan bahwa Seroquel menyebabkan diabetes dan gangguan metabolisme.
6. Merck Sharp & Dohme (2011)
Jumlah Penyelesaian: US$ 950 juta atau sekitar Rp 8,98 Triliun
Obat merk Vioxx yang diproduksi Merck Sharp & Dohme (MSD) ditarik dari pasar pada tahun 2004 karena penelitian menunjukkan obat tersebut meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke sebesar 2 kali lipat.
Tahun 2011 lalu, perusahaan dituduh melakukan klaim palsu tentang keamanan obat dan memasarkannya untuk penyakit yang belum diuji, contohnya untuk gangguan rheumatoid arthritis. Obat ini diperkirakan telah menyebabkan sekitar 88.000 - 140.000 kasus serangan jantung, sekitar setengah di antaranya berakhir fatal.
7. Abbott (2012)
Jumlah Penyelesaian: US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 14,24 Triliun
Abbott secara ilegal memasarkan Depakote untuk mengobati agresifitas dan agitasi pasien demensia, meskipun faktanya obat itu tidak disetujui dan menyebabkan efek samping parah seperti anoreksia. Obat ini juga dipasarkan untuk mengobati skizofrenia meskipun penelitian menunjukkan tidak memberikan manfaat dan tidak disetujui untuk digunakan mengatasi gangguan tersebut.
8. GlaxoSmithKline (2012)
Jumlah Penyelesaian: US$ 3 miliar atau sekitar Rp 28,49 Triliun
GlaxoSmithKline (GSK) memasarkan obat untuk gangguan yang tidak disetujui, menyembunyikan data mengenai risiko obat dan melakukan suap besar-besaran kepada dokter agar mau meresepkan produknya. Salah satu dokter terkenal di AS diduga menerima US$ 275.000 atau sekitar Rp 2,6 Miliar dari GSK untuk mempromosikan Wellbutrin sebagai obat disfungsi seksual hingga depresi, padahal data penelitian kurang mendukung.
9. Amgen (Masih proses)
Jumlah Penyelesaian: US$ 760 juta atau sekitar Rp 7,21 Triliun
Amgen digugat karena menyuap para dokter agar meresepkan obat Aranesp secara bebas kepada pasien. Hasil penyelidikan federal menemukan penyimpangan dalam pemasaran, penentuan harga, dosis dan data percobaan klinis obat mengenai keselamatan dan efektivitasnya. Amgen mengaku telah menyisihkan banyak uang untuk menyelesaikan berbagai tuntutan hukum.
10. Johnson & Johnson (Masih proses)
Jumlah Penyelesaian: US$ 1,5 - US$ 2 miliar atau sekitar Rp 14,19 - 18,99 Triliun
Risperdal (risperidone) dan Invega (paliperidone) merupakan obat antipsikotik yang diproduksi Johnson & Johnson (J & J) dan banyak dipasarkan ke psikiater anak dan dokter yang merawat orang tua. Padahal risiko penggunaannya tinggi namun manfaatnya belum begitu jelas.
Perusahaan menyembunyikan data mengenai hubungan penggunaan obat dengan kenaikan berat badan dan diabetes. Ada dugaan perusahaan menyuap pejabat untuk memasukkan obat J & J dalam pedoman kesehatan.
Misalnya dalam pedoman pengobatan
attention deficit hyperactivity disorder(ADHD) pada anak-anak yang mencantumkan penggunaan Risperdal. FDA memang pernah menyetujui penggunaan Risperdal untuk mengatasi ADHD, namun tidak ada bukti bahwa obat ini dapat membantu mengatasinya.