Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu sangat percaya adanya roh halus dan jahat serta alam yang mengandung kekuatan magis. Untuk mengimbangi dan menetralisir keadaan tersebut masyarakat mengadakan upacara yang dilengkapi dengan tari-tarian yang bersifat religius. Salah satu dari sekian banyak tarian religius yang ada pada masyarakat Bali adalah Tari Sanghyang. Tari sanghyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah. Selain untuk mengusir wabah penyakit, tarian ini juga digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari kekuatan jahat (black magic).
Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri.Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.Tarian sanghyang yang menjadi ciri khas orang Bali ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam.
Pertama adalah Sanghyang Dedari yakni tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil. Sebelum mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa. Kedua adalah Sanghyang Deling yakni tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Sanghyang deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau Batur, namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian yang hampir sama dengan sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama sanghyang dangkluk.
Ketiga adalah Sanghyang Penyalin yakni tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha). Selanjutnya yang keempat adalah Sanghyang Celeng (babi hutan)yakni tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa. Ada juga Sanghyang Memedi, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus). Keenam Sanghyang Bungbung, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil membawa potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang bungbung ini terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan pada saat bulan purnama.
Ketujuh yakni Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik. Kedelapan Sanghyang Janger. Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda. Jenis kesembilan Sanghyang Sengkrong, adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan oleh para leak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.
Tari Sanghyang Jaran (
Dan yang terakhir Sanghyang Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang jaran sambil menunggang kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan diiringi dengan kecak. Sedangkan, di Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali) pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu, sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda, hampir mirip tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa. Sanghyang sebagai tarian khas orang Bali, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan) sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai ketakwaan kepada Sang Penciptanya. Hal itu tercermin dari asal-usulnya yang bertujuan untuk mengusir wabah penyakit yang menurut kepercayaan mereka disebabkan oleh ganggungan roh jahat.
Herdian Armandhani
Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci. Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan beberapa pantangan, seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri.Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.Tarian sanghyang yang menjadi ciri khas orang Bali ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam.
Pertama adalah Sanghyang Dedari yakni tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil. Sebelum mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan) yang diiringi dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending pelebongan, hingga mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu, penari Sanghang diarak memakai peralatan yang lazimnya disebut joli (tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di atas sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa. Kedua adalah Sanghyang Deling yakni tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong bambu. Sanghyang deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau Batur, namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian yang hampir sama dengan sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan dan diberi nama sanghyang dangkluk.
Ketiga adalah Sanghyang Penyalin yakni tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh seorang laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha). Selanjutnya yang keempat adalah Sanghyang Celeng (babi hutan)yakni tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa. Ada juga Sanghyang Memedi, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk halus). Keenam Sanghyang Bungbung, adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil membawa potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang bungbung ini terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan pada saat bulan purnama.
Ketujuh yakni Sanghyang Kidang, yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa mempergunakan alat musik. Kedelapan Sanghyang Janger. Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda. Jenis kesembilan Sanghyang Sengkrong, adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan oleh para leak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.
Tari Sanghyang Jaran (
Dan yang terakhir Sanghyang Jaran, adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang jaran sambil menunggang kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan diiringi dengan kecak. Sedangkan, di Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali) pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu, sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari suatu penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda, hampir mirip tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa. Sanghyang sebagai tarian khas orang Bali, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika (keindahan) sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai ketakwaan kepada Sang Penciptanya. Hal itu tercermin dari asal-usulnya yang bertujuan untuk mengusir wabah penyakit yang menurut kepercayaan mereka disebabkan oleh ganggungan roh jahat.
Herdian Armandhani